22 Februari, 2010

Sejarah Singkat Moro

Posted by Wahyudi Poriansyah 00.38, under | 1 comment

Kecamatan Moro yang dikenal sekarang ini pada awalnya merupakan sebuah Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau yang terdiri dari 18 Kecamatan namun sejak tanggal 12 Oktober 1999 telah memasuki bagian wilayah Kabupaten Karimun. Kecamatan moro memiliki pusat kegiatan di Moro yang mengcangkup satu Kelurahan dan 8 desa.Menurut cerita pada awalnya letak kantor camat tidaklah seperti saat ini,karena kantor yang berada di Kecamatan Moro sudah mengalami tiga kali pemindahan lokasi.hal ini dilakukan seiring dengan situasi pada masa lalu yang berhubungan dengan masa kekuasaan kerajan Riau-Lingga yang berkedudukan di Pulau Penyengat.untuk melihat asal usul Kecamatan Moro tidak terlepas dari masa kekuasaan kerajaan,karna wilayah kecamatan ini adalah bagian dari wilayahnya.

Sebelum orang mengenal daerah Moro, yang dijadikan pemukiman pertama kali adalah daerah Sulit. Daerah Sulit sekarang termasuk dalam Desa Keban, berbatasan dengan Pulau Sugi Atas. Dikatakan daerah Sulit, karena untuk sampai di daerah ini karena selalu berhadapan gelombang yang besar dan banyak batu terdampar, sehingga apabila musim angin utara banyak pelayaran yang melalui jalur ini mengalami kecelakaan dilaut. Masuk di daerah sulit juga tidak mudah karena banyak pulau-pulau yang ada di sekitarnya sehingga kalau tidak hati-hati atau hapal dengan lokasi daerah ini akan tersesat. Daerah Sulit inilah yang dijadikan perkampungan dan lahan pertanian oleh keluarga rajapada masa itu. Setelah derah Sulit berkembang kemudian di bangunlah beberapa kantor seperti Kantor Camat dan Kantor Polisi. Sedangkan yang menjadi Amir pertama kali adalah Raja Husin. Beliau adalah anak dari Raja Ja’far Yang Dipertuan Muda, yang berkedudukan di Pulau Penyengat.

Derah Sulit ini juga dijadikan suatu perkampungan pertahanan oleh keluarga raja. Hal ini untuk mengantisipasi keadaan laut kepulauan, dimana sering terjadi perampokan, merampas harta benda kapal-kapal oleh bajak laut atau lanon. Untuk menangkap dan merangkul mereka bukan suatu hal yang mudah, karena pada umumnya mereka selain ganas, memiliki ilmu ketangkasan juga tinggi ilmu kebatinannya.Tidak sedikit orang yang mencoba menaklukan mereka mengalami kegagalan atau tidak dapat kembali dengan selamat.

Pada suatu ketika Raja Husin, Amir yang berkuasa pada masa itu dengan anaknya Raja Abdul Rahman mencoba masuk menaklukkan para lanon tersebut dengan berbekal ilmu yang ada. Mereka mendatangi perkampungan lanon., ketiaka itu, ketua lanon sedang menyirat tali dengan peralatan pisau yang sangat tajam. Begitu Raja Husin dan Raja Abdul Rahman memberi salam kepada ketua lanon tersebut ia melempar pisau kearah Raja Husin dan Raja Abdul Rahman. Akan tetapi tidak mengenai mereka dan pisau itu tertancap kebenda yang lain (dinding). S

eketika itu juga ketua lanon ini menyembah kepada Raja Husin dan Raja Abdul Rahman dengan menyatakan kekalahannya. Sejak saat itu, ketua lanon dan pengikut-prngikutnya takluk kepada Raja yang berkuasa pada Kerajaan Riau-Lingga, dan orang-orang itu membimbing dalam agama islam serta masuk agama islam. Mereka diberikan berbagai pelajaran yang berhubungan dengan agama islam. Selanjutnya, mereka dilatih dengan ilmu beladiri di istana untuk melengkapi ilmu yang ada dan dijadikan kaki tangan lilin (pengawal Kerajaan). Pada saat itu para lanon mengangkat sumpah setia kepada Raja dengan suatu upacara darah minum darah.

Sumpahan itu dilakukan dengan cara membuat nasi kuning setinggi bumbung rumah, dan disediakan satu baskom darah raja, satu baskoim lagi darah lanon, kemudian darah ini dimandikan kepada para lanon dengan sumpah setia kepada raja dan keturunannya dari Kerajaan Riau-Linnga yang berkedudukan di Pulau Penyengat. Keturunan lanon tersebut sampai tujuh keturunan tidak boleh berkecil hati dan tidak boleh melakukan hal-hal yang jahat lagi. Menurut cerita, para lanon tersebut berasal dari kampung ladi. Oleh karena Raja Husin dan Raja Abdul Rahman berhasil menaklukkan lanon, maka beliau berdua mendapat penghargaan dari Kerajaan Riau-Lingga berupa penghargaan bintang bulan. Menurut keturunan dari Raja Husin dan Raja Abdul Rahman, tanda penghargaan itu berada di Tanjung Pinang. Pusat pemerintahan kecamatan didaerah Sulit tidak bertahan lama, karena telah terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkn daerah ini menjadi daerah sumpahan.

Menurut pandangan masyarakat dimasa lalu sumpahan Raja adalah makbul, sehingga darah ini sedikit demi sedikit ditinggalkan oleh penduduknya menuju daerah lain dengan harapan baru, semoga ditempat yang baru mereka dapat mengubah nasibnya Peristiwa ini bermula pada saat Engku Hitam berkuasa didaerah sulit. Engku Hitam memilih seorang Permaisuri yang bijak dan berilmu tinggi. ia juga seorang pengarang.

Seperti biasanya para panglima, alim ulama, cerdik pandai selalu berkumpul diistana Engku Hitam. Kedatangan memakai kapal yang pada masa itu disebut sekoci, Tujuan mereka adalah memungut uang kancing (uang kas) dan dikumpulkan secara bersama-sama didaerah sulit. Setelah terkumpul uang tersebut dimasukkan dalam peti besi. Selanjutnya diserahkan ke Pulau Penyengat melalui Tanjungpinag. Pada kesempatan itu para panglima dan cerdik pandai, menunggu hari keberangkatan yang jatuhnya pada hari kamis. Pada hari jum’at peti besi tersebut sudah harus sampai ke Pulau Penyengat. Untuk menunggu sampai semuanya terkumpul dan hari keberangkatan, para panglima dan cerdik pandai, selalu berbual mengenai kepndaian, ketangkasan, keperkasaan mereka masing-masing. Hal itu dilakukan berulang-ulang setiap kali mereka memungut uang kas. Setiap kali pembicaraan itu dimulai, selalu didengar oleh permaisuri Engku Hitam yang menjadi Amir pada masa itu.

Pada suatu waktu timbul ide dari permaisuri Engku Hitam untuk menguji para panglima dan cerdik pandai atas kemahiran yang dimiliki mereka. Seperti bisa setiap uang kas terkumpul maka uang tersebut akan dibawa ke sekoci untuk dibawa ke Tanjungpinang. Pada waktu panglima akan mengangkat uang tersebut, tidak dapat terangkat. Dicoba seorang lagi juga tidak bergerak, akhirnya 3,4 orang hingga berpuluh-puluh orang, peti uang kas tersebut tidak bergerak sedikitpun. Padahal biasanya peti uang kas tersebut diangkat oleh pengawal cukup menggunakan sebelah tangan. Melihat kejdaian tersebut membuat hati Engku HItam menjadi gusar, karena yang menjadai pikirannya takut uang tersebut tidak sampai ketujuan pada waktu yang telah dijanjikan. Ia khawatir dianggap tidak disiplin dan lalai dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya ia mengerahkan para lanon unktuk membantu mengangkat peti besi tersebut., alhasil peti tersebut tidak juga bergerak. Raja Hitam semakin bingung, bergerak kesana kemari menjadi serba salah, keadaan yang demikian diperhatikan permaisurinya. Waktu seminggu telah berlalu., tepat menjelang 2 hari keberangkatan tepatnya pada hari kamis, permaisuri Engku Hitam menghadap suaminya dan berkata “ hai kanda kenapa gelisah, ade apekah gerangan kande? Engku Hitam mpun menjawab “ hai dinda entahlah beberapa hari ini menjadi risau atas ape yang terjadi, biasenye peti tersebut dengan mudah dapat diangkat, tapi kali ini peti itu tidak dapat diangkat walaupun sudah berpuluh-puluh orang telah mencobenye. Betul kata isterinye? Dalam nada bertanya. “Betul” jawab Engku Hitam.

Pada saat itu pula permaisuri beranjak dari tempat duduknya lalu bangun serta menuju ketempat orang yang berusaha mengangkat peti besi tersebut. Setelah kejadian tersebut permaisuri menghadap suaminya dengan berkata “ boleh kande dinde tolong mengangkatnye, kande tak usah risau! Mendengar perkataan permaisuri itu, Engku Hitam menjawab dengan perkataan “ heh! Adinde yang ndak ngangkat, adinde sendirikan orang lemah”, mendengar itu permaisuri lalu berkata, “ belum tau, kakande belukm rau walaupun perempaun ini lemah tetapi tidak mengetahui isi yang lemah mendengar jawaban permaisurinya, ia kembali menepis perkataan permaisurinya dengan nada yang agak tinggi ia berkata “ kalau begitu bukan kande yang jadi Amir yang memerintah negeri ini tetapi adindelah yang buat malu “ langsung ia berjalan menuju jendela,. Setelah beberapa saat, pindah lagi kejendela berikutnya dan akhirnya masuk kamar berbaring diatas peraduanya hendak tidur matanya tidak dapat dipejamkan, karena memikirkan masalah yang belum dapat diatasi.

Pemaisuri Engku Hitam selain mempunyai ilmu yang tinggi, ia juga rajin beribadah serta selalu melakukan puasa senin-kamis. Keesokan harinya pada hari jumat tepat jam 11.00 siang Mak Inang mengopek bakek dan pinang untuk permaisuri, pada waktu yang bersamaan permaisuri mengambil air sembahyang, selanjutnya melakukan sembahyang sunat, kemudian mengerjakan sembahyang fardhu dan melakukan sembahyang sunat lagi setelah melakukan sembahyang beberapa kali ia pun mulai duduk bersile lalu ia sasakan (mengusap) kedua tangan kaki dan muka, sirih yang dikopek mak inang diambil dan dikunyah pelan-pelan.

Selanjutnya ia menghadap suaminya dan berkata “ampun kande boleh dinde mengangkat peti kas tersebut” dengan bermohon. Selanjutnya suaminya berkata dengan suara seakan-akan marah “ nah cobelah kalau dinde sanggup mengangkatnye, berkali-kali adinde hendak cobe mengangkatnye! Ha-a cobe! Jangan-jangan peti uang kas yang ngangkat adinde. Permaisuri pun membalas perkataan suaminya “tidak kande” lalu ia pun menghampiri peti besi tersebut. Kemudian ia berhenti sejenak dengnan membaca kalimat dan mengusap tangan dan kakinya, akhirnya peti besi yang berisi uang kas tersebut dapat diangkat dengan menggunakan empat jari tangannya. Lalu ia sendiri membawa ke sekoci dengan mengarungi air dipantai.

Pada waktu itu ia akan membawa peti besi itu para dayang mau membantu tetapi ditolaknya. Setelah peti besi berada di sekoci ia pun kembali turun dari atas sekoci dan langsung menghadap suaminyadangan berkata “ silahkan kande berangkat , mudah- mudahan selamat pergi dan selamat kembali ”. Atas kejadian tersebut para pembesar negri dan panglima merasa kagum dengan berkomentar perempuan ini adalah orang berilmu. Engku Hitam setelah kembali mengantar uang kas, keadaannya masih seperti biasa gelisah siang dan malam, bak kata pepatah makan tak sekenyang tidur tak lena, karena masih ada beban pikiran yang mengganjal selama beberapa hari ini. Sebentar-sebentar ia melamun di jendela dan kadang kala ia berbaring di tempat peraduannya.

Keadaan yang demikian dirasakan oleh Permaisurinya sebagai orang yang dekat dengan suami. Pada suatu waktu ketika Engku Hitam sedang berbaring ditempat tidur, dengan rasa penesaran, Permaisurinya menghadap beliau lalu berkata “kenape kekande? Dinde perhatikan kekande selalu gelisah biasenya tidak seperti ini, ade apekah kande?, ade jawab suaminya. Lalu Engku Hitam menyuruh Permaisurinya duduk dan melanjutkan pembicaraannya lagi “kekande hendak bertanye kepade adinde! Kenape dinde mau sekali memberi malu kande! Mendengar pertanyaan Engku Hitam, Permaisuri menjadi kurang senang dan terkejut karma ia tidak menyangka bahwa suaminya akan berkata begitu dan selanjunya ia memberi alasan “mohon ampun menjunjung dibawah duli, adinde tidak berniat memberi malu kande, cume dinde merase kurang sedap atas pembicaraan panglime dan pembesar kerajaan yang selalu bangga dengan kemampuannya masing-masing seperti mengenai kegagahannya? Keberanian, kekuasaan yang mereka miliki seharusnya mereka tahu dimana letak kegagahan, keberanian dan kepintaran tersebut. Pada saat Permaisuri bercerita di sela oleh Engki Hitam dengan berkata “jadi maksud dinde?” maksud dinde ade sebabnye “ suaminye pun berkate lagi! “jadi dinde sebenarnye menderhake memberi malu kakande” sepantasnye dindelah yang menjadi raje atau suami” dengan intonasi kata yang agak meninggi ia menutup perkataan kepada Permaisurinya.

Beberapa hari kemudian tampa diduga-duga Engku Hitam memenggil Permaisurinya dihalaman Istana. Pada saat itu hadir pula rakyatnya ditempat tersebut. Seperti biasa disalah satu sudut halaman Istana para dayang sedang mengayaman tikar dengan memakai sebuah peralatan besi yang panjang. Begitu permaisurinya datang di sambut perkataan oleh Engku Hitam “ adinde kalau memang adinde kuat dapat mengalahkan raje dan panglime, cube adinde terai ( sambil memegang sebatang besi yang di ambil dari dayang penganyam tikar ) besi ini bengkok cube adinde bengkokkan “ mendengar perkataan yang demikian Permaisurinya menjadi terkejut dan heran. Lalu iapun berkata “eh..eh maksud kande menguji atau menyuruh sungguh-sungguh ? dengan nada bertanya betul jawab suaminya “ kande hendak melihat kegagahan maupun kebijakan adinde “ tanpa berkomentar permaisuri mengambil besi yang di ambil permaisurinya. Selanjutnya, besi itu diusut-usut. Sampai usutan yang ketiga kali besi itu langsung dilengkungakan dan menjadi bengkok menjadi lingkaran. Selanjutnya istrinya berkata “ besi ini sudah bengkok, sekarang maksud kande ape lagi” dengan suara yang agak menantang tatapi dikalukan sambil bergurau.

Hal itu dilakukan karna ia tidak mau diremehkan kemampuannya. Lalu suaminya pun menjawab “ sekarang kakande mintak ini barang diluruskan lagi “sambil menunjuk besi tadi. Dengan tidak memakan waktu, besi yang berada di tangan Permaisurinya di tawa ( mantra ) lalu disusut menurut lingkaran setelah itu habislah besi itu ditarik memanjang dan luruslah besi itu seperti semula. Pada tahap ini Permaisuri Engku Hitam telah memenuhi permintaan suaminya, namun Engku Hitam masih penasaran atas kemampuan permaisurinya yang tak sisangka-sangka memiliki ilmu tinggi. Untuk itu diadakan pertandingan yang kedua dengan berkata “ kita adakan pertandingan yang dilakukan adu tenaga melalui kekuatan tangan yang di sebut semance, pada pertandingan itu pun Engku Hitam menjerit kesakitan. Tangan seorang raja yang perkasa terpekik pada saat berhadapan dengan tangan permaisurinya yang lembut bak pisau yang diraut. Namun demikian, pemaisurinya langsung mengatur sembah di bawah duli “Ampun Kande dinde minta maaf atas ape yang terjadi”.

Engku Hitam menjadi lebih tidak puas hati atas kekalahan dirinya, kali ini ia mau melihat ketangkasan pemaisurinya dalam bermain senjate, yaitu bersilat di halaman dengan menggunakan Keris Sampurna Riau. Nemun pemaisuri kembali bertanya karena ia ragu apakah suaminya berkata benar atau hanya bergurau saja, namun dalam keraguan ini suaminya memberi keyakinan bahwa pertandingan ini adalah sungguh-sungguh. Tak lama kemudian mereka suami istri mengeluarkan kemampuan masing-masing bersilat dihalaman istana. Melihat keduanya bukan orang sembarangan karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu bela diri tingkat tinggi.

Pada suatu saat dalam pertempuran ini Engku Hitam membisu sejenak dan berfikir jangan kan panglima raja juga kalah,lalu iapun berkata “ini ilmu tidak boleh diturunkan kepade anak cucu,mungkin – mungkin ianye mendurhake” dengan berkata demikian maka usailah pertandingan yang berlaku di halaman kerajaan sulit.Lebih kurang sebulan stelah kejadian tersebut,Engku Hitam berkata kepade permaisurinya “Adinde mungkin pulau sulit ini akan Kakande tinggal,pulau ini nantinye menjadi hutan menjadi rimbelah ditinggalkan penghuninya.

Menurut cerita,Engku Hitam meninggalkan daerah sebelum habismasa jabatannya sebagai amir di daerah ini.Ia pergi ke Tokyo dan meninggal di sana.Sebelum ia meninggalkan daerah ini ia melemparsebuah keris di Gunung sulit di sebuah kolam yang berombak.Pada waktu ia melempar keris ia pun berkata “Siape yang dapat mengangkat kembali keris inidari kolam maka sejarah sulit akan terulang kembali”. Hingga sekarang bekas dan tapak kerajaan sulit masih dapat di lihat di sana,seperti pantai diman permaisuri Engku Hitam mengangkat peti besi yang di masukkan ke dalam sekoci,tapak bekas istana raja serta busut bekas tiang bendera.

Setelah terjadi peristiwa tersebut,daerah sedikit demi sedikit di tinggalkan penduduknya.Selanjutnya,dibukalah orang sebuah hutan yang terletak di Pulau Sebene(Moro).Pulau Sebene dibuka untuk dijadikan sebuah perkampungan olehseorang ulama,tepatnya di bukit segayang.Akan tetapi,belum sempatdi buka,ulama tersebut telah meninggal dunia.Begitu juga dengan ulama kedua,ketiga,dan seterusnya hingga tujuh ulama yang hendak membuka hutan disini mengalami nasib yang sama.Menjelang tujuh hari umumnya mereka meninggal dunia (menurut cerita,di bukit segayang ade puake yang berbentuk ular besarhidupnya sudahratusan tahun).

Alkisah RajaHusin mencoba memberanikan diri mendekati daerah tersebut dengan tujuan yang sama.Sebelum menebas hutan,Raja Husin melakukan sembahyang dan puasa yang khusus diniatnya,kemudian diadakan bersih kampung dengan peralatan seperti bedak,lange,kasai limaudi tempat tersebut. Selanjutnya, barulah ia dapat berhubungan dengan penunggu bukit segayang.Bahasa yang di gunakan pada dialok tersebut adalah bahasa arab.Dalam percakapan tersebut RajaHusin mohon izin untuk memindahkan penunggu yang berada di wilayahitu, karena daerah ini akan dijadikan sebuah perkampungan.Penunggu tersebut setuju tetapi dengan sarat diadakan Upacara Menyemah dengan mengorbankan kepala budak. Setelah semua syarat dilakukan maka dipindahkanlah penunggu bukit tersebut di sebuah pulau yang disebut Batu Berlobang. Setelah dilakukan berbagai upacara yang dimaksud maka mulailah Bukit Segoyang dibersikan untuk dijadikan perkampungan. Bedasarkan syarat yang diminta, akhirnya Raja Husin berpikir, apabila upacara Penyemah dilaksanakan setiap tahun dengan mengorbankan kepala budak, bagaimana dengan keturunannya. Kelak ia pasti dianggap sebagai penjahat. ( penebok ). Akhirnya ia mengadakan negosiasi dengan penunggutersebut agar syarat yang diwajibkan diganti dengan syarat yang lebih ringan.

Penunggu tersebut setuju tetapi ia mengganti Kepala Budak dengan lembu purtih. Sejak saat itu, tiap tahun dikorbankanlah lembu putih. Lembu tersebut disembelih dengan cara agama Islam. Kepalany untuk disemah sedangkan dagingnya digunakan untuk kenduri dan dibagi-bagikan dengan rakyatnya. Setelah 7 tahun berturut-turut mngadakan upacara menyemah, akhirnya Raja Husin berpikir lagi tentang keadaan anak cucu cicitnya kelak. Mereka tidak mungkin semudah dirinya untuk mendapatkan seekor lembu putih setiap tahunnya, akhirnya di adakan dialog kembali dan syaratnya diganti dengan kembing putih.

Setelah tujuh tahun kemudian syarat tersenutpun giganti dengan ayam putih yaitu setelah permohonan Raja Husin dipenuhi, dengan alasan yang sama. Pada akhirnya, ayam putih itupun diganti dengan ayam biasa. Sampai sekarang keturunan dari Raja Husin yang berada dimoro melakukan semah dibukit segayung dengan menggunakan syarat berupa ayam biasa. Begitulah awal cerita pertama dibukanya perkampungan dipulau sebene ini. Tak lama kemudian, kampong ini menjadi ramai dan dibangunlah beberapa buah kantor sebagai pusat ibu kota kecamtan. Kantor camat dibangun tepat dipohon kamboja. Menurut informan, pohon kamboja itu tidak mati walau sudah hidup puluhan tahun lamanya, sedangkan daerah seroja adalah bekas kantor polisi akhirnya daerah ini semakin hari semakin banyak penduduk yang menetap disini dan berkembang pesat. Lalu terbentuklah kampong-kampung yang baru seperti kampong bedan. Dikatakan kampong bedan karena dulu didaerah ini ada tinggal beberapa orang kampong.

Selanjutnya kampong suak ( kampong tengah sekarang ) kampong benteng dahulu pernah terjadi benturan antara orang OTCH dengan orang melayu. Dalam perbenturan itu yang dapat menenangkan adalah mereka yang tinggal didaerah benteng oleh sebab itu di sebut kampong benteng. Selanjunya kampong batu ampar dikatakan batu ampar karena daerah ini banyak batu-batu yang besar yang terdampar dan berserakan. Berikutnya kampong ujung mukah dikatakan karna kampugn inilah yang paling ujung. Setelah penduduknya semakin berkembang maka kantor camat yang terletak diatas bukit segayong tidak sesuai lagi dengan perkembangan dikota sehingga dipindahkan di kampong tengah. Yang menjadi pusat pemerintahan kecamatan moro sudah mengalami tiga kali perpindahan lokasi.

Dahulu aerah moro disebut pulau sebene namun ada yang menyebut menene. Sejak kapan disebut moro, sebelum dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi, yang jelas nama moro itu berasal dari sebuah pulau yang terletak didepan pulau sebene yaitu pulau yang disebut dengan pulau moro. Menurut cerita Pulau Moro dan Pulau Sebene pada masa lalu adalah satu tanah pada saat air surut orang dapat berjalan kaki menuju pulau-pulau tersebut. Suatu ketika kedua pulau ini retak sehingga membelah menjadi dua. pada awalnya jaraknya cuma sejengkal kemudian menjadi sehaste yang selanjunya bertambah besar dan hanyut sehingga menjadi bertambah jauh lautnyapun bertambah dalam.

Kini antara kedua pulau tersebut dapat dilalui kapal yang berukuran besar seperti peri dan kapal yang lainnya yang sesuai dengan tujuan. Alas nama pulau moro terjadi karena suatu peristiwa pada masa Kerajaan Malaka, dikerajaan ini menghadaplah putra mahkota kepada ayah bundanya untuk mengunjungi sanak famili dan sahabat-sahabat yang berada didaerah Indaragiri. Setelah mendapat izin dari raja, beberapa waktu kemudian putra mahkota mempersiapkan segala kebutuhannya. Selanjutnya, berangkatlah anak raja dengan hulu baling atau tentara kerajaan menuju Indragiri. Selama masa pelayaran, meraka melewati antara selat malaka dan selat karimun. Suatu hari, kapal mereka telah kehabisan air. Atas permintaan putra mahkota kapal tersebut berhenti dan berlabuh antara Pulau Perisai Terumbu Laut ( berada diwilayah kecamatan moro ) untuk mencari air sebagai persediaan dikapal. Pada mulanya, putra mahkota hendak pergi sendiri mencari air, namun niat ini diurungkan karena hulu baling masih mampu untuk mencari air. Maka, turunlah hulu baling ke daratan.

Hulu balang yang pertama pergi adalah hulu balang Salim. Setelah berupaya mencari tempat, namun tidak juga dijumpai sumber air untuk di ambil airnya. Akhirnya Salim menghadap putra mahkota bahwa di daerah tersebut tidak ada sumber air. Kemudian tugas ini digantikan hulu baling saher, dengan tujuan yang sama yaitu pergi Kepulau Selintas Harus Tengah. Namun nasib belum berpihak kepada mereka karena tempat sumber air belum juga ditemukan.

Setelah keduanya tidak menemukan tempat sumber air, kali ini putra mahkota dan kedua hulu balang tadi pergi turun bersama-sama dengan tujuan lokasi yang berbeda yaitu kepulauan selintang arus darat ( di pulau moro ) walaupun mereka turun bersama, sesampai pulau tersebut mereka mencari secara berpencar. Tak lama kemudian dari arah tanjung pulau itu, berlari-lari hulu balang saher kearah putra mahkota, dengan raut muka yang pucat pasi dengan gemetar serta berkata tersendat-sendat seperti orang bisu, hanya kata yang dapat di dengar “tu – tunku – kita – me – meroh “ kemidian putra mahkota untuk menenangkan dengan berkata “ade ape saher diam dulu jangan tergopoh hendak bercakap, engkau ini macam orang bisu aje.” Setelah putra mahkota menasehati, barulah saher dapat berkata denganb agak tenang, rupa-rupanya saher telah menemukan harta yang banyak dalam tempangan yang berupa emas berlian.

Kemudian putra mahkota dan kedua hulu balang pergi melihat dan mengambil harta tersebut. Karena senangnya putra mahkota mendapat harta tersebut maka ia maengambilnya serta berkata “ kita meroh – kita meroh” berulang kali. Setelah semuanya dibawa kekapal, mereka beristirahat untuk melepaskan lelah sejenak.

Selanjutnya, putra mahkota bersama hulu balang saher turun kembali kepulau itu untuk mencari air. Dalam perjalanan kali ini rombongan tersebut berjumpa dengan penduduk pulau tersebut dan akhirnya mereka berkunjung kerumah Bathen Kader. Kepada bathen tersebut putra mehkota menceritakan apa yang dialami selama merka mencari air sampai berjumpa harta yang banyak. Selanjutnya, putra mahkota berpesan kepada bathen tersebut agar nama pulau ini diganti dengan nama pulau meroh. Sedangkan tanjung tempat dijumpai harta tersebut dinamanakan tanjung bisu daerah yang bernama selintang arus laut dan selintang arus tengah diganti namanya menjadi tanjung salim dan tanjung saher. Oleh karna mereka yang pertama kali meminjak kaki menginjakkan kaki di daerah itu. Setelah berpesan begitu, putra mahkota beserta rombongan kembali kekapal.

Selebum bernagkat putra mahkota melemparkan perisainya ( mahkota ) di laut sebagai hadiah pada pulau tempat dijumpai harta tersebut. Selanjutnya, ia kembali kemalaka dan tidak jadi berangkat ketujuan semula karna dihawatirkan akan dihadang para lanon yang berkeliaran didaerah itu.

1 komentar:

Kok Banyak Legendanya sih......